Kamis, 01 Mei 2014

Surat Kecil Untukmu, Wahai Keluarga Peradaban



Malam ini akan menjadi saksi berputarnya rol film kehidupan dalam asrama peradaban yang kelak aku rindukan. Saksi dimana kini aku bersama kesunyian ingin sekali berdamai dengan semua lika-liku pembelajaran, mencoba kembali melihat ke belakang, agar tahu sudah seberapa jauh diri ini melangkah. Melangkah dan siap berhadapan dengan fase kehidupan selanjutnya secara jantan, setelah mampu dengan mantap mengenyam pembinaan selama 22 bulan bersama teman-teman seperjuangan.

Aku masih mengingat jelas bagaimana seorang aku dua tahun lalu. Bagaimana aku menyambut setiap pagiku, bagaimana aku mengisi waktu luangku, bagaimana aku memprioritaskan masing-masing aktivitasku, dan bagaimana aku mampu mengunggulkan setiap egoku. Dan kini, semua sikap itu aku anggap lucu. Anggapan itu muncul karena proses yang selama ini telah aku jalankan bersama Laskar Nakula—begitu sebutan untuk 31 manusia keren yang menghuni asrama orange ini, membuat berbagai tempaan di PPSDMS begitu sempurna.

Dan kini potongan-potongan gambar itu: mulai dari hal-hal sepele seperti program yang masih saja berulang kali harus diingatkan; motor yang tertukar; charger, pulpen, sepatu, bahkan sampai helm yang secara gaib bisa berpindah tempat meski barang sekejap, tragedi mati air secara tiba-tiba, serta hal-hal absurd dan misterius lain yang tentu saja tidak bisa disebutkan satu-persatu disini—demi menghormati bayangan pikiran para pembaca, kembali ditayangkan dalam benak secara jelas.

Namun siapa sangka, potongan-potongan gambar itu ternyata pada akhirnya menghasilkan lantunan ayat suci Al-Quran yang merdu, orasi yang lantang, pergi dan pulang ke luar negeri silih-berganti, tulisan yang dimuat di berbagai media, kemenangan lomba yang prestisius di berbagai bidang, gaya kepemimpinan organisasi yang berkarakter, kontribusi sosial yang tak pernah harap pujian dan sanjungan, serta kehebatan-kehebatan lain hadir dalam sosok-sosok yang masih haus dengan pembelajaran. Satu-persatu episode ini muncul membentuk puzzle-puzzle lukisan penuh warna, yang tentu saja tidak mampu dilukis meski oleh kombinasi kuas, tinta dan kanvas terbaik sekalipun.

Entah bagaimana nantinya aku bisa menceritakan fase kehidupan selama disini—yang membuat aku seakan tak percaya mengapa noktah-noktah kejadian itu bisa terjadi, kepada istri dan anak-anakku nanti. Entah skenario apa yang mampu menuntunku masuk dalam bagian doktrinasi suci yang dilantangkan setiap apel pagi, yang disebut Idealisme Kami. Entah ekspresi seperti apa nantinya yang akan muncul, saat aku bertemu kembali dan menyapa satu-persatu dari mereka, yang secara perlahan telah bertemu dengan mimpi-mimpi besarnya. Entah bagaimana aku harus menanggapi setiap kenangan yang diam-diam memaksa untuk terus diingat, suatu saat nanti. Membayangkannya saja sudah membuat mata ini berkaca-kaca, saking mengagumkannya.

Dalam baju-baju yang tersusun rapi di lemari, dalam buku-buku yang tertata di atas rak, dalam sepatu-sepatu yang berbaris di halaman, aku yakin mereka secara jitu telah memberi pesan-pesan tersembunyi pada setiap makhluk yang pernah menghuni tempat ini. Pesan-pesan tersembunyi itu merekam setiap memori, yang nantinya bisa kita jadikan bahan senda gurau dan candaan yang menghibur hati. Memori yang sudah dirancang sejak awal, dalam kombinasi titik-titik garis kehidupan yang saling bersinggungan.

Jadi siapapun yang membaca tulisan ini, tolong selipkan untaian doa yang terlantunkan untuk mereka, keluarga besarku yang menjadi calon orang-orang besar di negeri ini. Doa-doa yang tentu saja menjadi pesona rahasia yang membungkus setiap bait tingkah dan perilakunya. Doa-doa yang menjadi senjata utama bagi kita untuk menyatukan kekuatan yang kelak tiada bandingannya. Karena doa adalah ekspresi cinta tiada tara, bagi siapapun yang mampu menerimanya.

Dan kepada siapapun yang nantinya harus menggantikan bekas kamar-kamar tidur yang telah aku tempati, aku merasa bertanggung jawab padanya untuk memberinya sebuah pesan (termasuk untuk diriku sendiri). Bahwa kehidupan disini bukanlah sekedar kehidupan asrama yang mampu dijalankan oleh orang sembarangan. Bahwa kesempatan menjadi bagian dalam keluarga PPSDMS adalah anugerah paling berharga yang mungkin bisa engkau dapatkan. Tolong dimanfaatkan, karena fase kehidupan berharga seperti ini tak kan pernah tergantikan.

Akhirnya, sampailah aku pada sebuah kesimpulan, sejatinya hidup adalah tentang perpindahan yang berulang. Fisik yang berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Hati yang berpindah dari seorang diri ke diri yang lain. Dan di balik setiap ketidakpastian dalam hidup, selalu ada kepastian perpindahan yang mengikutinya. Sampai pada suatu titik, kita akhirnya menyerah dalam mencari tahu dimana akhir perpindahan itu. Dan kini, aku harus berani pindah secara fisik, berpisah sementara, tanpa harus memindahkan hatiku dengan hatinya. Mengapa? Karena aku yakin, hati-hati ini akan bersatu selamanya.

Untuk itulah, kepada kalian yang menjadi bagian keluarga peradaban: Ksatria, Tiara, Bandung Boys, Laskar Nakula, Srikandi, Heroboyo dan rekan-rekan PPSDMS Bogor, semoga luapan rasa ini mampu mengingatkan kita pada puncak kerinduan di suatu masa. Kerinduan yang mengingatkan bahwa kita adalah, “Saudara Selamanya“.


Mari kita terima masa lalu | Dan mulai merancang masa depan baru | Untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan yang telah kita ukir itu



Biarkan kita kini berjalan lebih sempurna apa adanya | Mungkin hanya ini satu-satunya cara, agar dunia bisa tersenyum melihat tingkah kita



Rasa terima kasihku untukmu, wahai keluarga peradaban | Telah menemani dengan segala keterbatasan dan keunikan | Meskipun aku tahu, semua kelak hanya kenangan

Dan atas semua pelajaran berharga yang tak terkira nilainya | Kiranya kita bisa melanjutkan kebaikan-kebaikan selanjutnya, sampai di surga dan kita kekal di dalamnya

Ucap maafku padamu, karena tak mampu merangkai kebaikan yang kian lama kian sempurna | Menjawab rahasia-Nya yang telah terpendam lama

Jika Allah memberikan aku kesempatan tuk miliki sebuah kekuatan, ingin sekali rasanya ku mampu membelenggu waktu | Agar aku bisa terus belajar dengan kalian dalam ikatan persaudaraan, tanpa harus senantiasa bertemu

 
Yogyakarta, Kamis 1 Mei 2014, 
Selesai ditulis pukul 06.00 pagi, saat mentari mulai tampak tersenyum..

2 komentar:

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini. Silahkan beri tanggapan dan masukan di kotak yang telah disediakan.

Semangat berbagi, sobat! :)